Rabu, 04 Februari 2015

Tahun Baru Masehi Dalam Pandangan Islam

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskkitariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Asal Mula Perayaan Tahun Baru Masehi

Tahun Masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih. Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada 45 SM, jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus. Namun dalam perkembangannya, ada seorang pendeta Kristen bernama Dionisius yang kemudian memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadobsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi). Kemudian Pope (Paus) Gregory III memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh Eropa, bahkan kini seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakina Kristen:”The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date”. Demikian keterangan dalam Encarta Reference Library Premiun 2005. Di jaman Romawi, pesta ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi. Seiring muncul dan berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai suatu perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Itulah mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu (Merry Christmas and Happy New Year).

Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu

Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Yunani, buah delima yang menurut orang yunani melambangkan kesuburan dan kesuksesan ditebarkan di pintu rumah, kantor dan took took sebagai simbol doa untuk mendapatkan kemakmuran sepanjang tahun. Italia, disalah satu kotanya, tepatnya Naples, pada pukul 00 tepat pada malam pergantian tahun, masyarakat disana akan membuang barang barang yang sudah usang dan tidak terpakai di jalanan. Spanyol, masyarakat spanyol tepat pada malam pergantian tahun akan memakan anggur sebanyak 12 biji, jumlah yang hanya 12 melambangkan harapan selama 12 bulan kedepan. Jepang, di jepang, masyarakat disana merayakan tahun barunya dengan memakan 3 jenis makanan sebagai simbol yaitu telur ikan melambangkan kemakmuran, ikan sarden asap melambangkan kesuburan tanah dan manisan dari tumbuhan laut yang melambangkan perayaan. Korea, pada malam pergantian tahun masyarakat disana menikmati kaldu daging sapi yang dicampur dengan potongan telur dadar dan kerupuk nasi atau yang biasa disebut thuck gook.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba football Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Perayaan tahun baru Masehi biasanya dirayakan sangat meriah bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekedar merayakan pergantian tahun: old and new. Tradisi yang dilakukan selalu rutin: meniup terompet dan menyalakan kembang api pada saat detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00”.
sumber: UIN-Community

BUDAYA MENIUP TEROMPET
DALAM PERAYAAN TAHUN BARU MASEHI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

“Happy New Year” adalah ungkapan yang terdengar di berbagai pelosok negeri ketika pukul 00.00 tanggal 31 Desember memasuki tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Tidak hanya remaja, orang tua dan anak-anak pun ikut serta dalam merayakan tahun baru Masehi. Seolah semua manusia terpusat pada satu titik dengan tujuan yang sama yaitu merayakan dan menyemarakkan tahun baru Masehi.
Perayaan tahun baru Masehi di Indonesia identik dengan meniup terompet di jalan-jalan pada malam pergantian tahun. Kebiasaan ini telah lama dianut oleh sebagian besar masyarakat, tak terkecuali masyarakat muslim. Pada hari itu ada anak-anak sibuk merengek kepada orang tuanya untuk membelikan terompet, golongan remaja menyisihkan uang jajannya untuk membeli terompet demi perayaan tahun baru. Jika mereka ditanya tentang alasan mereka merayakan tahun baru maka penulis menduga bahwa jawaban mereka adalah karena gaya hidup orang lain juga demikian (dengan kata lain, ikut-ikutan teman yang merayakan tahun baru Masehi), hal tersebut mereka lakukan karena ingin menghindarkan diri dari ketinggalan zaman.
Oleh karena itulah, penulis bermaksud menuliskan makalah ini agar masyarakat dapat mengetahui tentang sejarah perayaan tahun baru Masehi dan hubungan terompet dan perayaan tahun baru Masehi. Apabila mereka telah memahaminya maka penulis berharap agar masyarakat nantinya dapat menjaga kemurnian aqidah Islam dengan menyeleksi budaya Barat yang masuk pada gaya hidup mereka.
Adapun metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi literatur yaitu dengan mempelajari literatur yang berhubungan dengan judul makalah ini, kemudian dianalisis menurut hukum Islam. Penulis akan menggunakan 3 nalar yaitu nalar bayani (kebahasaan), ta’lili/ qiyasi (penganalogian), serta istishlahi (kemashlahatan) dalam merespon permasalahan tersebut.  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Budaya Perayaan Tahun Baru Masehi
Sistem penanggalan Masehi disebut dengan The Gregorian Calender atau Christian Calender. Penganggalan ini menggunakan patokan tahun pertama kelahiran Yesus sebagai tahun I Masehi sehingga tahun-tahun sesudahnya disebut Anno Domini (AD) yang bermakna “the year of the lord” (tahun Tuhan kami) dan tahun sebelum kelahiran Yesus disebut Before Christ (BC) yang sering dikenal dengan Tahun Sebelum Masehi.
Perayaan Tahun Baru dimulai sejak tahun 45 SM pada masa kaisar Roma dipimpin oleh Julius Caesar. Dialah kaisar yang memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah dibentuk sejak abad ke 7 SM. Satu tahun penanggalan baru dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan dia menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Dia juga memerintahkan untuk menambah 1 hari pada bulan Februari setiap 4 tahun sekali untuk menghindari penyimpangan dalam kalender tersebut. Dan sebelum ia terbunuh pada tahun 44 SM, ia telah mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya yaitu Julius (Juli) dan bulan Sextilis dengan nama kaisar yang menggantikan Julius Caesar yaitu Agustus.
Saat ini perayaan 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen, namun tahun baru telah menjadi tradisi sekuler sehingga hari tersebut dijadikan sebagai hari libur nasional bahkan internasional. Awalnya, perayaan ini dirayakan oleh kaum Yahudi pada akhir September tetapi selanjutnya menurut kalender Julianus, perayaan tahun baru dimulai 1 Januari sehingga hingga kini pun perayaan tahun baru terjadi pada tanggal 1 Januari.
Acara yang diadakan oleh masyarakat pada masa lampau dalam menyambut tahun baru Masehi itu berbeda-beda antar negara. Misalnya di Brazil, orang-orang berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih, lalu mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai penghormatan kepada sang Dewa Lemanja (dewa laut). Di Indonesia pun turut merayakan perayaan tahun Baru Masehi.
Budaya perayaan tahun baru ini tidak tercantumkan dalam risalah Islam. Karena risalah islam hanya mengakui 2 hari besar yang diperintahkan untuk memeriahkannya yaitu hari raya Fithri pada tanggal 1 Syawal dan hari raya Qurban pada tanggal 10 Dzulhijjah.

B.     Sejarah Budaya Terompet
Budaya meniup terompet bermula saat perang Salib. Ketika itu telah terjadi peperangan besar, para Kristiani dari berbagai daerah kerajaan dari Eropa maupun Asia bekerjasama melawan kaum muslimin. Hal ini mengakibatkan kaum muslimin mengalami kekalahan dan kaum Kristiani pun merayakan kemenangan mereka dengan peniupan terompet oleh panglima besar Kristen.
 
Adapun terompet menurut ajaran Islam telah disampaikan Nabi Muhammad SAW bahwa terompet adalah kebudayaan Yahudi sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Daud berikut:

عَنْ أَبِى عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ اهْتَمَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا
 فَقِيلَ لَهُ انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُورِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا آذَنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ
قَالَ فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ – يَعْنِى الشَّبُّورَ – وَقَالَ زِيَادٌ شَبُّورَ الْيَهُودِ فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ وَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُودِ ».
قَالَ فَذُكِرَ لَهُ النَّاقُوسُ فَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى ».
فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ وَهُوَ مُهْتَمٌّ لِهَمِّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأُرِىَ الأَذَانَ فِى مَنَامِهِ – قَالَ – فَغَدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لَبَيْنَ نَائِمٍ وَيَقْظَانَ إِذْ أَتَانِى آتٍ فَأَرَانِى الأَذَانَ. قَالَ وَكَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – قَدْ رَآهُ قَبْلَ ذَلِكَ فَكَتَمَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا – قَالَ – ثُمَّ أَخْبَرَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُ « مَا مَنَعَكَ أَنْ تُخْبِرَنِى ». فَقَالَ سَبَقَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ فَاسْتَحْيَيْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا بِلاَلُ قُمْ فَانْظُرْ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ فَافْعَلْهُ ». قَالَ فَأَذَّنَ بِلاَلٌ. قَالَ أَبُو بِشْرٍ فَأَخْبَرَنِى أَبُو عُمَيْرٍ أَنَّ الأَنْصَارَ تَزْعُمُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ لَوْلاَ أَنَّهُ كَانَ يَوْمَئِذٍ مَرِيضًا لَجَعَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُؤَذِّنًا. 

Artinya:
Dari Abi Umair bin Anas dari ‘Umumah, baginyalah orang Anshar, ia berkata: “Nabi SAW bersusah hati karena shalat bagaimanakah ia mengumpulkan manusia untuk shalat”.
Lalu dikatakan kepadanya: “Tegakkan bendera, sehingga apabila mereka (kaum muslim) melihatnya maka sebagian mereka memberitahukan sebagian yang lain”. Maka ia (Nabi SAW) tidak mengagumkan (tidak merespon) pada yang demikian itu.
Ia berkata, lalu disebutkan padanya Al-Qun’u yaitu Asy-Syabuuru (alat yang ditiup; terompet) dan Ziyad berkata: Teropetnya yahudi, maka ia (Nabi SAW) pun tidak merespon pada yang demikian itu.
Lalu ia berkata: lalu disebutkan  An-Naquus (lonceng) kepadanya  lalu Nabi SAW bersabda: “dia termasuk perkaranya orang Nasrani”
lalu Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi dan ia termasuk orang yang  dipedulikan karena kesusahan hati Rasulullah SAW akan yang demikian itu lalu diperlihatkanlah (diperdengarkanlah) adzan pada tidurnya –ia berkata- lalu ia pergi pada pagi hari kepada Rasulullah SAW lalu mengabarkan kepadanya lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku termasuk diantara orang yang tidur dan (seseorang) menyampaikan maksudnya ketika orang yang datang mendatangiku lalu memperlihatkan kepadaku akan adzan” ia berkata: “Dan Umar bin Khaththab ra. sungguh telah memperlihatkan akan yang demikian itu sebelumnya tapi ia menyembunyikan (hal tersebut) selama 20 hari”. Ia berkata: “kemudian ia mengabarkan kepada Nabi SAW” lalu Nabi SAW bersabda: “apa yang menghalangimu untuk mengabarkan kepadaku?” lalu ia menjawab: “Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku, sehingga aku merasa malu” lalu Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Bilal, bangkitlah lalu perhatikanlah apa yang akan diperintahkan oleh Abdullah bin Zaid dengannya maka kerjakanlah olehmu akannya” ia berkata: “lalu, Bilal adzan”. Abu Bisyrin berkata: “lalu Abu ‘Umair telah telah mengabarkan kepadaku bahwasannya orang Anshar mengira bahwa Abdullah bin Zaid itu seandainya ia pada hari itu tidak sakit maka Nabi SAW akan menjadikannya sebagai mu’adzin”.
Menurut Al-Bani, hadits ini adalah hadits hasan yang dapat dijadikan hujjah.
Terompet di Indonesia digunakan dalam budaya perayaan tahun baru Masehi, yaitu pada malam 31 Desember menjelang tanggal 1 Januari masyarakat membunyikannya dengan berkeliling kota menggunakan mobil dan sepeda motor. Terompet menjadi salah satu alat musik yang selalu terdengar di jalan-jalan dan tempat hiburan, hal ini telah menjadi budaya di kota-kota besar dalam menyambut datangnya tahun baru Masehi.

C.    Analisis Budaya Meniup Terompet dalam Perayaan Tahun Baru Masehi Berdasarkan Nalar Bayani, Ta’lili dan Istishlahi
Budaya terompet dalam perayaan tahun baru Masehi merupakan budaya masa kini yang belum ada pada zaman Nabi SAW 14 abad silam, namun hukum Islam bersifat syumul (menyeluruh) pada setiap permasalahan yang muncul di dunia ini baik masa lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menganalisis pandangan hukum Islam terhadap budaya terompet dalam perayaan tahun baru masehi berdasarkan nalar bayani, ta’lili dan istishlahi.
Hukum asal meniup terompet adalah mubah sebagaimana kaedah fiqh yang berbunyi:
الأصل فى الأشياء الإباحة إلا يدل الدليل على التحريم
Kebolehan meniup terompet bersifat sangat global sehingga dibatasi “kecuali jika ada dalil yang mengharamkan”. Sesungguhnya budaya meniup terompet pernah terjadi pada zaman Nabi SAW sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa terompet adalah sarana untuk menyeru kaum Yahudi agar berkumpul dalam ibadah sebagaimana nukilan hadits berikut:
قَالَ فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ – يَعْنِى الشَّبُّورَ – وَقَالَ زِيَادٌ شَبُّورَ الْيَهُودِ فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ وَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُودِ ».
Dari hadits tersebut, kata فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَmenunjukkan bahwa Nabi SAW tidak merespon usulan sahabat dalam menyeru umat muslim untuk memenuhi shalat dengan meniup terompet, karena  tiupan terompet merupakan perkaranya kaum Yahudi. Dan umat muslim dilarang untuk tasyabbuh (mengikuti) orang kafir dalam hal aqidah dan ibadah.
‘Illat pelarangan meniup terompet pada masa Nabi SAW adalah karena terompet adalah alat yang dijadikan sebagai sarana untuk memanggil kaum Yahudi dalam beribadah. Seiring berjalannya waktu, budaya membunyikan terompet tidak hanya dilakukan untuk memanggil kaum Yahudi dalam beribadah saja namun juga untuk bermain musik dan  merayakan parayaan tahun baru Masehi. Oleh karena itu, maka pelarangan meniup terompet tidaklah mutlak, karena hukum itu tergantung ‘illat yang menyertainya sebagaimana kaedah fiqhiyyah yang berbunyi:
الحكم يدور مع علته
Bahkan meniup terompet dapat dibolehkan, karena suatu amalan itu dilakukan tergantung dengan maksud (tujuannya). Sebagaimana kaedah fiqhiyyah yang berbunyi:
الأمور بمقاصدها
Permasalahan yang menjadi pokok bahasan penulis dalam masalah ini adalah budaya meniup terompet untuk perayaan tahun baru. Jika meniup terompet saja tanpa ada maksud ibadah maka diperbolehkan akan tetapi jika dengan maksud merayakan tahun baru masehi maka hendaknya dapat dipertimbangkan beberapa hal mengenai perayaan tahun baru masehi. Perayaan tahun baru Masehi sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya merupakan suatu budaya yang masih terkait dengan ritual umat Nasrani, karena tahun Masehi dihitung berdasarkan tahun kelahiran tuhan mereka yaitu Yesus. Nabi SAW telah menjelaskan bahwa orang yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dalam kaum tersebut, sebagaimana hadits riwayat Abu Daud berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
Artinya:
Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda : “barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk diantara mereka”
Menurut Albani, hadits ini hasan shahih sehingga dapat dijadikan hujjah.
Perayaan tahun baru Masehi juga identik dengan hal-hal yang tidak berguna dan sia-sia. Perayaan tahun baru Masehi di Indonesia pada khususnya dilakukan pada tengah malam pergantian hari tanggal 31 Desember dan 1 Januari. Hal ini sia-sia karena Nabi SAW telah memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa mengisi waktu dengan hal yang bermanfaat sebagaimana ciri kaum mukmin yang disebutkan dalam surat al-Mukminun: 3 berikut:
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tiada berguna”
Hal yang tidak berguna yang dilakukan pada malam tahun baru diantaranya dengan meniup terompet ketika masyarakat lain yang tidak merayakan sedang beristirahat. Jika seorang mukmin melakukan hal demikian, maka ia telah melanggar syari’at Islam karena selain ia melakukan hal yang sia-sia, ia juga mendzalimi orang lain yang sedang beristirahat. Dan kedzaliman seharusnya dihilangkan sebagaimana kaedah fiqih yang berbunyi:
الضرر يزال
Pada akhirnya, menurut hemat penulis  dapat dikatakan bahwa meniup terompet itu diperbolehkan namun jika meniup terompet pada perayaan tahun baru yang menyebabkan sesuatu yang diharamkan oleh syari’at Islam maka meniup terompet juga dapat menjadi sesuatu yang haram.

BAB III
PENUTUP

 Budaya meniup terompet dalam perayaan tahun baru merupakan hal baru yang belum ditetapkan hukumnya secara jelas dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, akan tetapi dapat difahami melalui beberapa metode istinbath al-Hukmi yang telah dirumuskan oleh para ulama salaf. Diantara metode tersebut adalah metode bayani, ta’lili, dan istishlahi.
Hasil dari penerapan metode-metode istinbath al-Hukmi tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum asal meniup terompet adalah boleh namun jika hal tersebut disertai dengan hal-hal yang dilarang oleh syari’at Islam maka menjadi haram. Diantara hal yang dapat mengharamkannya adalah:
  1. Meniupnya dengan maksud agar umat muslim berkumpul untuk melakukan shalat atau ibadah lainnya.
  2. Mengkhususkan waktu meniupnya untuk perayaan hari-hari besar orang kafir (seperti perayaan tahun baru Masehi).
  3. Meniup terompet adalah hal yang sia-sia dan merupakan bentuk kemubadziran baik harta maupun waktu.
  4. Meniup terompet menimbulkan kegaduhan sehingga menyebabkan orang lain merasa terganggu.
Dengan demikian, penulis menyarankan kepada kaum muslimin untuk meninggalkan meniup terompet dalam menyemarakkan perayaan tahun baru Masehi, karena menyemarakkan perayaan tahun baru sama saja dengan tasyabbuh. Meniup terompet kali ini bukan hanya menjadi masalah mu’amalah tapi telah bersinggungan dengan masalah keyakinan, karena perayaan tahun baru Masehi adalah ritual kaum Nasrani. Dan jika ingin meniup terompet maka hendaknya dilakukan dengan tujuan / maksud sesuatu yang mubah (diperbolehkan syari’at), dan pada waktu dan tempat yang mendukung sehingga terhindar dari kemudharatan. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim Special for Women.2007. Bandung : Syamil Al-Qur’an.
A.Rahman, Drs. H. Asjmuni. Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah).1976. Jakarta: Bulan Bintang
Hakim, Abdul Hamid, Mabaadi’ Awaliyah fii Ushuul al-Fiqih wal Qawaa’id al-Fiqhiyyah. Jakarta: Maktabah As-Sa’adiyah Putra (tanpa tahun)

Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram
 
Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha”.
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.
Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.” Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud lantas berkata,  “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam
Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan dalam Islam).”

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
 
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan  jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan
 
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?!  Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),  “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).  

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia. Wallahu walliyut taufiq.

Renungan Tahun Baru dalam Pandangan Islam
Sejarah “tahun baru” masehi
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Sebuah Renungan, “Perayaan Tahun Baru”
Anda ikut merayakan tahun baru, mengikuti siapa?
 
Perayaan tahun baru ternyata bukan sesuatu yang baru, bahkan ternyata itu adalah budaya yang sangat kuno, beberapa umat melakukan. Perayaan itu, diantaranya adalah hari raya Nairuz, dalam kitab al Qomus. Nairuz adalah hari pertama dalam setahun, dan itu adalah awal tahun matahari
Orang-orang Madinah dahulu pernah merayakannya sebelum kedatangan Rasulullah. Bila diteliti ternyata ternyata itu adalah hari raya terbesarnya orang Persia bangsa Majusi para penyembah api, dikatakan dalam sebagian referensi bahwa pencetus pertamanya adalah salah satu raja-raja mereka yaitu yang bernama Jamsyad.
Ketika Nabi datang ke Madinah beliau mendapati mereka bersenang–senang merayakannya dengan berbagai permainan, Nabi berkata: ‘Apa dua hari ini’, mereka menjawab, ‘Kami biasa bermain-main padanya di masa jahiliyah’, maka Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri. [Shahih, HR Abu Dawud disahihkan oleh asy syaikh al Albani]
Para pensyarah  hadits mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua hari yang sebelumnya mereka rayakan adalah hari Nairuz dan hari Muhrojan [Mir’atul mafatih]
Di samping majusi, ternya orang-orang Yahudi juga punya kebiasaan merayakan awal tahun, sebagian sumber menyebutkan bahwa perayaan awal tahun termasuk hari raya Yahudi, mereka menyebutnya dengan Ra’su Haisya yang berarti hari raya di penghujung bulan, kedudukan hari raya ini dalam pandangan mereka semacam kedudukan hari raya Idul Adha bagi muslimin.
Lalu Nashrani mengikuti jejak Yahudi sehingga mereka juga merayakan tahun baru. Dan mereka juga memiliki kayakinan-keyakinan tertentu terkait dengan awal tahun ini. [Bida’ Hauliiyyah]
Tidak menutup kemungkinan masih ada umat-umat lain yang juga merayakan awal tahun atau tahun baru, sebagaimana disebutkan beberapa sumber. Yang jelas, siapa mereka?, tentu, bukan muslimin, bahkan Majusi penyembah api nasrani penyemabah Yesus dan Yahudi penyembah Uzair.

Jadi siapa yang anda ikuti dalam perayaan tahun baru ini?
Lebih dari itu, ternyata perayaan tahun baru ini telah dihapus oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, bukankah anda ingat hadits di atas?, Nabi menghapus perayaan Nairuz dan Muhrojan dan mengganti dengan idul Fitri dan Adha.
Lalu, kenapa muslimin menghidup-hidupkan sesuatu yang telah dimatikan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Kata Ibnu Taimiyyah, Allah Subhanahuwata’ala mengganti (Abdala) konsekwensi dari kata Abdala (menggati) adalah benar-benarnya terhapus hari raya yang dulu dan digantikan dengan penggatinya, karena tidak bisa berkumpul antara yang menggati dan yang digantikan.
Tapi, kenyataannya justru tetap saja umat ini merayakan tahun baru, melanggar sabda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, sungguh benar berita kenabian Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam
“Benar-benar kalian akan mengikuti jalan-jalan orang yang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga bila mereka masuk ke lubang binatang dhob (semacam biawak), maka kalian juga akan memasukinya. Kami berkata: Wahai Rasulullah Yahudi dan nashrani? Beliau berkata: Siapa lagi?.” [shahih, HR al Bukhori Muslim dan yang lain]
Kaum muslimin…

Belum lagi, apa yang mereka lakukan dalam perayaan tahun baru?
Bukankan berbagai kemungkaran yang sangat bertolak belakan dengan ajaran agama. Kalau anda dari jenis orang yang pobhi dengan ajaran agama, saya katakan, bukankah dalam acara itu banyak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan, abad, sopan santun, kehormatan jiwa dan berbagai kemuliaan-kemualiaan yang lain.
Hampir semua atau semua yang terjadi adalah kerendahan dan kehinaan martabat manusia apalagi martabat muslim. Tentu kita semua, saya dan anda dan mereka, sebenarnya menyadari akan hal itu, lalu kapan kita akan meninggalkannya, mengapa masih saja memeriahkan acara tersebut, tidakkah kita kembali saja kepada kehormatan kita dan kemulian kita serta tentunya ajaran agama kita.
Bersihkan dari bercak-bercak perayaan tahun baru, joget, pentas musik yang identik dengan kerendahan moral, minuman-minuman keras dan obat-obat terlarang, pembauran antara lawan jenis yang merusak moral, sampai pada pesta hura-hura dengan pakaian minim, pamer aurat, pacaran dan perzinaan, apakah kita menginkari terjadinya hal itu?
Berbagai sumber berita menyebutkan bahwa penjualan alat kontrasepsi baik kondom atau yang lain meningkat tajam dari tahun ke tahun menjelang perayaan malam tahun baru. Miris, kenyataan yang memperihatinkan, inikah moral bangsa kita, dimana susila dan dimana ajaran agama? Bila anda seorang muslim atau muslimah tidakkan takut dengan ancaman Allah Subhanahuwata’ala , Nabi shallahu alaihi asallam bersabda
إذا ظهر الزنا و الربافي قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله
”Tidaklah nampak pada sebuah daerah zina dan riba melainkan mereka telah menghalalkan adzab Allah untuk diri mereka” [Hasan, HR Abu Ya’la, al Hakim dan dihasankan oleh Asy Syaikh al Albani].
“Tidaklah tampak pada suatu kaumpun perbuatan keji (zina, homoseks) sehingga mereka menampakkannya melainkan akan menyebar ditengah-tengah mereka penyakit-penyakit yang tidak pernah ada pada umat sebelumnya” [Sahih, HR al Baihaqi, disahihkan oleh asy syaikh al albani]
Saudaraku muslim…Saudariku muslimah…Masihkan anda akan menodai diri anda….?
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah Subhanahuwata’ala dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya (Yahudi dan Nashrani), kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.[QS :al Hadid:16]
Ingat, liang lahat menunggu kita semua…

Sumber : http://www.kopsyahirsyady.com/95-artikelislam/336-tahun-baru

0 komentar:

Posting Komentar