Jumat, 20 Februari 2015

Catatan Seorang Muslim Tentang Waisak



Peringatan Hari Waisak selain membawa berkah bagi penganut Buddha juga membawa kebahagiaan bagi kami taruna AKPOL. Hari waisak bagi umat hari kemenangan yang menandai tiga peristiwa besar yaitu saat kelahiran Pangeran Sidharta, Petapa Sidharta mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha dan Buddha Gotama mangkat. Ketiga peristiwa tersebut terjadi pada saat bulan purnama di bulan Waisak (Mei), menurut kalender Bulan. Waisak bagi umat manusia, khususnya umat Buddha adalah hari kemenangan, hari yang sangat bersejarah. Karena Waisak merupakan bukti yang nyata bahwa manusia bisa menaklukkan penderitaan dan mencapai kebahagiaan abadi. Wujud kebahagiaan bagi kami saat ini apalagi kalau tidak liburan keluar Resimen, jeda dari padatnya rutinitas di dalam akademi. Namun saya di sini ingin memaknainya lebih dari itu. Alangkah indahnya jika antar umat beragama dapat timbul rasa saling pengertian tumbuh dari pemahaman bukan sebatas formalitas belaka sebatas ucapan selamat hari raya.
Ketika umat Buddha di Indonesia pada hari ini memperingati hari waisak yang sebagian besar pelaksanaannya dipusatkan di candi Borobudur Magelang ingatan saya terngiang pada saat deputasi Drum Corps AKPOL yang dilaksanakan di candi Borobudur pada tanggal 27 Februari yang lalu. Setelah Drum Corps Den 43/ Rinaksa Sakalamandala menjalani kirab menyusuri jalanan kota Magelang sampai ke kompleks candi, penampilan kami ditutup denga acara display Drum Corps di lapangan depan candi. Setelah acara selesai kami tak melewatkan untuk mendaki bangunan megah yang dulu masuk dalam tujuh keajaiban warisan budaya dunia itu. Menapaki tangga demi tangga candi sampai menjumpai stupa besar sebagai puncaknya tanpa disadari dapat dianoligan sebagai mendaki tingkatan dunia kosmologi yang diyakini umat Buddha.
Pada tingkatan pertama candi adalah Kamadhatu. Kamadhatu menggambarkan hawa nafsu dunia. Pengertian dari Kamadhatu adalah orang-orang yang belum mengenal materi Agama, oleh karena itu mereka dipenuhi oleh hawa nafsu dunia. pada tingkatan ini terdapat relief-relief yang menggambarkan sebab dan akibat dari perbuatan seseorang. Pada tingkatan yang kedua adalah Rupadhatu. Bentuk bangunan Rupadhatu menggambarkan materi di dunia. Materi adalah segala sesuatu yang dapat disentuh, dilihat dan diraskan yang memiliki masa dan menempati ruangan di sekitar kita. Kebutuhan materi berkebalikan dengan kebutuhan rohani. Oleh karena itu, Rupadhatu menjelaskan mengenai segala sesuatu yang dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan yang ada di dunia ini. Tingkatan yang terakhir adalah Arupadhatu. Bentuk bangunan Arupadhatu ini menggambarkan mengenai tingkatan Nirwana yang berarti surga. Tingkatan puncak bagi orang yang telah tercerahkan.
Tingkatan-tingkatan tersebut dapat dimaknai sebagai perjalanan ruhani yang ditempuh oleh seorang manusia sampai mencapai pencerahan dan menemukan kehidupan yang paripurna yang dalam hal ini adalah perjalanan hidup seorang Sidharta Gautama. Sebagai seorang putra mahkota raja Sudhodana yang suatu hari akan mewarisi kerajaan, Pangeran Siddharta Gautama muda hidup dalam mewahnya kerjaan. Beliau dilimpahkan kemewahan, dimanja, dipuja dan berkuasa, dibangun tiga istana yang indah-indah, dijaga agar Beliau tidak melihat orang susah, orang tua renta, orang sakit maupun orang yang meninggal dunia dan pertapa suci. Menjalani kehidupan yang bergelimang harta dan kuasa tersebut tidak membuatnya bahagia. Ada sisi yang hilang dalam dirinya yang mendambakan kehidupan yang sejati hingga suatu hari jalan takdir yang digariskan mempertemukannya dengan seorang pertapa yang hidupnya sangat sederhana dan di wajahnya tercermin kegembiraan dan kebahagiaan. Singkat cerita beliau keluar istana untuk mengembara dalam mencari pencerahan hingga suatu hari beliau bertapa dan mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha di bawah pohon Bodhi.
Saya meyakini bahwa agama adalah jalan bagi manusia untuk mencapai kebahagian yang sejati. Kebahagian sejati itu ditempuh melalui ritus peribadatan dan ajaran yang berlainan melainkan untuk mencapai satu tujuan. Dalam pandangan saya sebagai seorang muslim, yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya adalah keberadaan ruh dalam tubuh manusia. Hakikat kemanusiaan seseorang terletak di dalam ruhnya. Ruh manusia ditiupkan langsung oleh sang Kholik pada kejadian penciptaan manusia sebagamana yang tertulis dalam Al-Qur’an Surat Al-Hirj ayat 28 - 29 yang berbunyi: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk“. “Maka apabila aku telah me menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud“.
Dalam hal ini saya memandang bahwa manusia terdiri dari tubuh yang jasmaniah dan ruh yang ilahiah. Tubuh yang jasmaniah terikat pada kebutuhan dan nafsu. Kebutuhan jasmaniah tergantung pada hal-hal yang bersifat kongkrit, berwujud atau kasat mata. Dalam ajaran Buddha diistilahkan dengan Rupadhatu yang menggambarkan materi dunia. Kebutuhan jasmaniah ini memerlukan pemuasan yang sesegera mungkin (Immediete Gratification). Kita lapar maka sesegera mungkin kita mencari makan, kita tersengat mata hari kita mencari perlindungan, butuh pemuasan seksual kita mencari pasangan dan seterusnya yang mana ketika tidak kita kendalikan kebutuhan jasmaniah ini kita akan terseret kedalam alam nafsu atau dalam istilah Buddha adalah Kamadhatu yaitu manusia yang tidak mengenal agama dan memperturutkan hawa nafsunya. Makin jauh manusia terseret oleh hawa nafsunya maka ia akan semakin jauh dari alam ruhaniahnya. Semakin memperturutkan hawa nafsunya pada hakikatnya manusia menjauh dari kebahaigiaan sejati.
Untuk mengilustrasikan tahapan kebutuhan manusia tersebut saya akan mengemukakan tahapan perkembangan menurut Sigmund Freud. Menurut Freud ketika anak-anak kita menemukan kesenangan ketika kita memasukkan sesuatu ke dalam mulut kita (fase Oral) apapun itu baik makanan maupun benda-benda seperti tangan yang dimainkannya ke dalam mulut. Fase selanjutnya adalah fase Anal, seorang anak akan mendapatkan kenikmatan ketika ia mengeluarkan seseuatu dari dalam tubuhnya maka tak heran jika seorang anak suka mempermainkan kotorannya dan berlama-lama di kamar mandi. Tahapan selanjutnya adalah fase Genital, di mana seorang anak akan mendapatkan kesenangan ketika mempermainkan alat kelaminnya.
Teori Freud di atas menggambarkan bahwa kebutuhan semua anak adalah kebutuhan yang bersifat jasmaniah. Makin dewasa kebutuhan tersebut termanifestasikan pada wujud yang abstrak tetapi pada hakikatnya analogis dengan kebutuhan jasmaniah diatas. Seorang manusia yang hanya menemukan kenikmatan saat makan dan minum yang enak-enak saja tanpa ada kesadaran untuk mengontrolnya dapat dikatakan terhambat perkembangannya. Atau makanan dan minuman dapat dianologikan dalam bentuknya yang abstrak sebagai harta kekayaan yang selalu kita kejar-kejar dan menjadi tujuan utama hidup kita. Fase Anal dapat dicontohkan ketika manusia senang akan sesuatu yang ia keluarkan, ada orang yang menemukan kebahagiaan ketika ia mengeluarkan sesuatu miliknya yaitu harta dengan berbelanja habis-habisan (Shopaholic ). Dan yang paling rawan adalah manusia-manusia yang mengumbar hawa nafsu seksualnya karena hanya menganggap kesenangan sejati adalah ketika ia menemukan pemuasan ketika memainkan alat kelaminnya (Genital), mencari pasangan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi hasrat birahinya.
Dari uraian di atas saya harap dapat menggambarkan bahwa kebutuhan jasmaniah memang perlu namun perlu dikontrol dan difungsikan hanya sebagai penunjang kehidupan saja. Cara agar bagaiman kita dapat menyeimbangkan kebutuhan jasmaniah tersebut ditemukan dalam ajaran agama. Dalam ajaran agama kita diajarkan untuk mengendalikan kebutuha jasmaniah kita dan agar tidak terlalu tergantung oleh kebutuhan jasmaniah sehingga kita jatuh dalam kedukaan atau dalam ajaran Buddha adalah Samsara. Dengan itu kita mulai meninggalkan keterikatan kita pada tubuh kita dan mulai mendekati ruh kita atau mendekatkan diri pada tuhan yang telah meniupkan ruh manusia. Seseoran yang sudah sampai pada tingkat yang mana keterikatan dengan ruhnya lebih besar daripada keterikatan dengan tubuhnya akan mampu mengendalikan tubuhnya. Orang yang telah mengendalikan hawa nafsunya tidak akan marah ketika seharusnya marah, tidak membalas dendam ketika ada kesempatan membalas dendan dan tidak akan sakit hati dan mendongkol ketika ada orang yang menyakiti hatinya.
Orang yang menempuh jalan ruhani bukan berarti meninggalkan sepenuhnya kehidupan keduniawian. Justru ketika telah mencapai pencerahan manusia akan menjadi “tangan-tangan tuhan” untuk mengabdikan hidupnya di jalan tuhan dengan berbuat kebajikan untuk manusia (Dharma). Ketika seseorang telah mencapai tahapan yang tercerahkan, ketika sang Buddha menemukan pencerahan di bawah pohon Bodhi, ketika nabi Muhammad bertemu Allah SWT di Sidratul Muntaha, dan ketika Musa berjumpa dengan Allah SWT di gunung Thursina, maka kemudian ia kembali lagi ke bumi (down to earth) menjalani kehidupan seperti biasanya dan menebarkan Dharma Bhaktinya untuk umatnya. Demikian juga seharusnya dengan kita, melatih diri untuk mendekati ruh kita dan berbuat Dharma Bhakti kepada sesama sebagai jalan juga untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Semoga kita selalu diberi petunjuk olehnya.
Semoga tulisan yang sederhana ini dapat menjadi inspirasi buat kita untuk saling menghargai sesame umat beragama dan selalu konsisten dalam menumpuh jalanNya. (catatan untuk taruna AKPOL: Hayati lagi tulisan besar di lapangan apel yang berbunyi “MASYARAKAT MENUNGGU DHARMA BHAKTIMU”) – Eki Mufakih-
Sumber: sosbud.kompasiana.com/2010/05/28/waisak-dalam-pandangan-saya-seorang-muslim-152157.html


0 komentar:

Posting Komentar