Peringatan Hari Waisak selain membawa berkah bagi
penganut Buddha juga membawa kebahagiaan bagi kami taruna AKPOL. Hari waisak
bagi umat hari kemenangan yang menandai tiga peristiwa besar yaitu saat
kelahiran Pangeran Sidharta, Petapa Sidharta mencapai penerangan sempurna
menjadi Buddha dan Buddha Gotama mangkat. Ketiga peristiwa tersebut terjadi
pada saat bulan purnama di bulan Waisak (Mei), menurut kalender Bulan. Waisak
bagi umat manusia, khususnya umat Buddha adalah hari kemenangan, hari yang
sangat bersejarah. Karena Waisak merupakan bukti yang nyata bahwa manusia bisa
menaklukkan penderitaan dan mencapai kebahagiaan abadi. Wujud kebahagiaan bagi
kami saat ini apalagi kalau tidak liburan keluar Resimen, jeda dari padatnya
rutinitas di dalam akademi. Namun saya di sini ingin memaknainya lebih dari
itu. Alangkah indahnya jika antar umat beragama dapat timbul rasa saling
pengertian tumbuh dari pemahaman bukan sebatas formalitas belaka sebatas ucapan
selamat hari raya.
Ketika umat Buddha di Indonesia pada hari ini
memperingati hari waisak yang sebagian besar pelaksanaannya dipusatkan di candi
Borobudur Magelang ingatan saya terngiang pada saat deputasi Drum Corps AKPOL
yang dilaksanakan di candi Borobudur pada tanggal 27 Februari yang lalu.
Setelah Drum Corps Den 43/ Rinaksa Sakalamandala menjalani kirab menyusuri
jalanan kota Magelang sampai ke kompleks candi, penampilan kami ditutup denga
acara display Drum Corps di lapangan depan candi. Setelah acara selesai kami
tak melewatkan untuk mendaki bangunan megah yang dulu masuk dalam tujuh
keajaiban warisan budaya dunia itu. Menapaki tangga demi tangga candi sampai
menjumpai stupa besar sebagai puncaknya tanpa disadari dapat dianoligan sebagai
mendaki tingkatan dunia kosmologi yang diyakini umat Buddha.
Pada tingkatan pertama candi adalah Kamadhatu.
Kamadhatu menggambarkan hawa nafsu dunia. Pengertian dari Kamadhatu adalah
orang-orang yang belum mengenal materi Agama, oleh karena itu mereka dipenuhi
oleh hawa nafsu dunia. pada tingkatan ini terdapat relief-relief yang
menggambarkan sebab dan akibat dari perbuatan seseorang. Pada tingkatan yang
kedua adalah Rupadhatu. Bentuk bangunan Rupadhatu menggambarkan materi di
dunia. Materi adalah segala sesuatu yang dapat disentuh, dilihat dan diraskan
yang memiliki masa dan menempati ruangan di sekitar kita. Kebutuhan materi
berkebalikan dengan kebutuhan rohani. Oleh karena itu, Rupadhatu menjelaskan
mengenai segala sesuatu yang dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan yang ada di
dunia ini. Tingkatan yang terakhir adalah Arupadhatu. Bentuk bangunan
Arupadhatu ini menggambarkan mengenai tingkatan Nirwana yang berarti surga.
Tingkatan puncak bagi orang yang telah tercerahkan.
Tingkatan-tingkatan tersebut dapat dimaknai
sebagai perjalanan ruhani yang ditempuh oleh seorang manusia sampai mencapai
pencerahan dan menemukan kehidupan yang paripurna yang dalam hal ini adalah
perjalanan hidup seorang Sidharta Gautama. Sebagai seorang putra mahkota raja
Sudhodana yang suatu hari akan mewarisi kerajaan, Pangeran Siddharta Gautama
muda hidup dalam mewahnya kerjaan. Beliau dilimpahkan kemewahan, dimanja,
dipuja dan berkuasa, dibangun tiga istana yang indah-indah, dijaga agar Beliau
tidak melihat orang susah, orang tua renta, orang sakit maupun orang yang
meninggal dunia dan pertapa suci. Menjalani kehidupan yang bergelimang harta
dan kuasa tersebut tidak membuatnya bahagia. Ada sisi yang hilang dalam dirinya
yang mendambakan kehidupan yang sejati hingga suatu hari jalan takdir yang
digariskan mempertemukannya dengan seorang pertapa yang hidupnya sangat
sederhana dan di wajahnya tercermin kegembiraan dan kebahagiaan. Singkat cerita
beliau keluar istana untuk mengembara dalam mencari pencerahan hingga suatu
hari beliau bertapa dan mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha di bawah
pohon Bodhi.
Saya meyakini bahwa agama adalah jalan bagi
manusia untuk mencapai kebahagian yang sejati. Kebahagian sejati itu ditempuh
melalui ritus peribadatan dan ajaran yang berlainan melainkan untuk mencapai
satu tujuan. Dalam pandangan saya sebagai seorang muslim, yang membedakan
antara manusia dan mahluk lainnya adalah keberadaan ruh dalam tubuh manusia.
Hakikat kemanusiaan seseorang terletak di dalam ruhnya. Ruh manusia ditiupkan
langsung oleh sang Kholik pada kejadian penciptaan manusia sebagamana yang
tertulis dalam Al-Qur’an Surat Al-Hirj ayat 28 - 29 yang berbunyi: “Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk“. “Maka apabila aku telah me menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud“.
Dalam hal ini saya memandang bahwa manusia
terdiri dari tubuh yang jasmaniah dan ruh yang ilahiah. Tubuh yang jasmaniah
terikat pada kebutuhan dan nafsu. Kebutuhan jasmaniah tergantung pada hal-hal
yang bersifat kongkrit, berwujud atau kasat mata. Dalam ajaran Buddha
diistilahkan dengan Rupadhatu yang menggambarkan materi dunia. Kebutuhan
jasmaniah ini memerlukan pemuasan yang sesegera mungkin (Immediete
Gratification). Kita lapar maka sesegera mungkin kita mencari makan, kita
tersengat mata hari kita mencari perlindungan, butuh pemuasan seksual kita
mencari pasangan dan seterusnya yang mana ketika tidak kita kendalikan
kebutuhan jasmaniah ini kita akan terseret kedalam alam nafsu atau dalam istilah
Buddha adalah Kamadhatu yaitu manusia yang tidak mengenal agama dan
memperturutkan hawa nafsunya. Makin jauh manusia terseret oleh hawa nafsunya
maka ia akan semakin jauh dari alam ruhaniahnya. Semakin memperturutkan hawa
nafsunya pada hakikatnya manusia menjauh dari kebahaigiaan sejati.
Untuk mengilustrasikan tahapan kebutuhan manusia
tersebut saya akan mengemukakan tahapan perkembangan menurut Sigmund Freud.
Menurut Freud ketika anak-anak kita menemukan kesenangan ketika kita memasukkan
sesuatu ke dalam mulut kita (fase Oral) apapun itu baik makanan maupun
benda-benda seperti tangan yang dimainkannya ke dalam mulut. Fase selanjutnya
adalah fase Anal, seorang anak akan mendapatkan kenikmatan ketika ia
mengeluarkan seseuatu dari dalam tubuhnya maka tak heran jika seorang anak suka
mempermainkan kotorannya dan berlama-lama di kamar mandi. Tahapan selanjutnya
adalah fase Genital, di mana seorang anak akan mendapatkan kesenangan
ketika mempermainkan alat kelaminnya.
Teori Freud di atas menggambarkan bahwa kebutuhan
semua anak adalah kebutuhan yang bersifat jasmaniah. Makin dewasa kebutuhan
tersebut termanifestasikan pada wujud yang abstrak tetapi pada hakikatnya
analogis dengan kebutuhan jasmaniah diatas. Seorang manusia yang hanya
menemukan kenikmatan saat makan dan minum yang enak-enak saja tanpa ada
kesadaran untuk mengontrolnya dapat dikatakan terhambat perkembangannya. Atau
makanan dan minuman dapat dianologikan dalam bentuknya yang abstrak sebagai
harta kekayaan yang selalu kita kejar-kejar dan menjadi tujuan utama hidup
kita. Fase Anal dapat dicontohkan ketika manusia senang akan sesuatu
yang ia keluarkan, ada orang yang menemukan kebahagiaan ketika ia mengeluarkan
sesuatu miliknya yaitu harta dengan berbelanja habis-habisan (Shopaholic
). Dan yang paling rawan adalah manusia-manusia yang mengumbar hawa nafsu
seksualnya karena hanya menganggap kesenangan sejati adalah ketika ia menemukan
pemuasan ketika memainkan alat kelaminnya (Genital), mencari pasangan
sebanyak-banyaknya untuk memenuhi hasrat birahinya.
Dari uraian di atas saya harap dapat
menggambarkan bahwa kebutuhan jasmaniah memang perlu namun perlu dikontrol dan
difungsikan hanya sebagai penunjang kehidupan saja. Cara agar bagaiman kita
dapat menyeimbangkan kebutuhan jasmaniah tersebut ditemukan dalam ajaran agama.
Dalam ajaran agama kita diajarkan untuk mengendalikan kebutuha jasmaniah kita
dan agar tidak terlalu tergantung oleh kebutuhan jasmaniah sehingga kita jatuh
dalam kedukaan atau dalam ajaran Buddha adalah Samsara. Dengan itu
kita mulai meninggalkan keterikatan kita pada tubuh kita dan mulai mendekati
ruh kita atau mendekatkan diri pada tuhan yang telah meniupkan ruh manusia.
Seseoran yang sudah sampai pada tingkat yang mana keterikatan dengan ruhnya
lebih besar daripada keterikatan dengan tubuhnya akan mampu mengendalikan
tubuhnya. Orang yang telah mengendalikan hawa nafsunya tidak akan marah ketika
seharusnya marah, tidak membalas dendam ketika ada kesempatan membalas dendan
dan tidak akan sakit hati dan mendongkol ketika ada orang yang menyakiti
hatinya.
Orang yang menempuh jalan ruhani bukan berarti
meninggalkan sepenuhnya kehidupan keduniawian. Justru ketika telah mencapai
pencerahan manusia akan menjadi “tangan-tangan tuhan” untuk mengabdikan
hidupnya di jalan tuhan dengan berbuat kebajikan untuk manusia (Dharma).
Ketika seseorang telah mencapai tahapan yang tercerahkan, ketika sang Buddha
menemukan pencerahan di bawah pohon Bodhi, ketika nabi Muhammad bertemu Allah
SWT di Sidratul Muntaha, dan ketika Musa berjumpa dengan Allah SWT di
gunung Thursina, maka kemudian ia kembali lagi ke bumi (down to earth)
menjalani kehidupan seperti biasanya dan menebarkan Dharma Bhaktinya untuk
umatnya. Demikian juga seharusnya dengan kita, melatih diri untuk mendekati ruh
kita dan berbuat Dharma Bhakti kepada sesama sebagai jalan juga untuk
mendekatkan diri kepada tuhan. Semoga kita selalu diberi petunjuk olehnya.
Semoga tulisan yang sederhana ini dapat menjadi
inspirasi buat kita untuk saling menghargai sesame umat beragama dan selalu
konsisten dalam menumpuh jalanNya. (catatan untuk taruna AKPOL: Hayati lagi
tulisan besar di lapangan apel yang berbunyi “MASYARAKAT MENUNGGU DHARMA
BHAKTIMU”) – Eki Mufakih-
Sumber: sosbud.kompasiana.com/2010/05/28/waisak-dalam-pandangan-saya-seorang-muslim-152157.html
0 komentar:
Posting Komentar